Kritik Terhadap Teknologi Metaverse

Penulis: Fauzi Hasan
Doktor bidang Teknologi Informasi dan Sistem Informasi
Doktor Manajemen Keuangan
Professor Project Management-American Academy
President Asia Pacific Chapter-American Academy

Mulanya pemikiran dan konsep yang memunculkan teknologi Metaverse adalah dari Neal Stephenson di dalam novelnya sudah berbicara tentang beberapa teknologi yang dapat membuat Metaverse menjadi kenyataan saat ini seperti: augmented reality (AR) dan virtual reality (VR).

Apa yang tidak bisa dia bayangkan pada saat itu adalah ledakan big data, jaringan ultra-cepat, dan kecerdasan buatan (AI) yang kita alami saat ini, di mana semuanya terhubung, disimpan, dan dianalisis.

Tiga puluh tahun setelah Metaverse pertama kali disebutkan, konsep dunia virtual yang tersedia untuk semua orang dapat menjadi kenyataan dengan menggabungkan beberapa teknologi, seperti : AI (Artificial Intelligence), blockchain, VR, dan AR. Metaverse adalah konvergensi dua ide yang telah ada selama bertahun-tahun: realitas virtual dan kehidupan kedua digital.

Selama beberapa dekade para teknokrat telah memimpikan sebuah era ketika kehidupan virtual kita memainkan peran yang sama pentingnya dengan realitas fisik kita. Secara teori, kita akan menghabiskan banyak waktu untuk berinteraksi dengan teman dan kolega kita di ruang virtual 

Ambiguitas seputar teknologi Metaverse membuat kita sulit untuk mengevaluasi teknologi ini, yang tidak memiliki produk dan  tujuan nyata (realistic) dan nyata, Metaverse tidak lebih merupakan suatu Jargon atau Buzzword teknologi saat ini.

Banyak yang berharap bahwa teknologi  Metaverse akan menjadi standar yang terbuka dan universal, tetapi mengingat obsesi industri teknologi saat ini dengan beragam kebijakan “seclusively layers”, kenyataannya tidak mungkin tercapai, yang lebih mungkin adalah kita dapat mengunjungi dunia Metaverse yang berbeda, tidak terlalu berbeda dari video game modern dan internet pada umumnya.

 

Saya memahami teknologi Metaverse adalah konsep yang terfragmentasi dan bersifat dystopian saat ini, sedemikian rupa sulit untuk meyakinkan calon pengguna akan intrinsic values yang melekat.

Kondisi dystopian adalah sangat berlawanan dengan kondisi yang bersifat Utopia yang bersifat sistematik, teratur, memiliki tujuan dan diharapkan oleh pengguna. Beberapa komponen inti yang membangun teknologi Metaverse sudah ada sejak lama.

Ekosistem virtual online telah ada selama hampir dua dekade dalam bentuk game online multipemain besar-besaran (MMO). Second Life, misalnya, memungkinkan kita membuat avatar, yang memungkinkan berinteraksi dengan orang lain di ruang sosial bersama, dan bahkan dapat digunakan untuk mengumpulkan  uang  melaui Games sejak tahun 2003. Demikian pula dengan VRChat, secara konsisten menjadi salah satu game realitas virtual (VR) teratas yang dimainkan oleh puluhan ribu pemain masuk setiap hari.

Menurut saya, meskipun beberapa elemen bangunan dasar dari teknologi Metaverse sudah ada pada saat ini, seperti tersedianya Headset VR  dengan harga  relatif terjangkau, namun baru bisa penetrasi di niche-market (ceruk pasar) tertentu, demikian pula dengan  perangkat keras Augmented Reality AR, dan kacamata cerita Ray-Ban belum mencapai kematangan teknologi; apalagi keterjangkauan dan daya tarik publik. Teknologi Metaverse masih jauh dari adopsi publik. Namun demikian, pengadopsi awal dapat langsung berpartisipasi dalam pengalaman dengan skala kecil.

Saya mengamati bahwa industri perangkat lunak, berkeyakinan   bahwa aplikasi yang menjanjikan  adalah semua aplikasi yang diperlukan untuk mengarahkan pengguna ke teknologi Metaverse. Dengan demikian banyak perusahaan menginvestasikan sejumlah besar uang ke dalam usaha pengembangan teknologi yang akan selaras dan mendukung teknologi Metaverse.

 

Saya dapat menyimpulkannya bahwa Metaverse dan Web3.0 tidak lebih dari sekadar rebranding untuk kripto dan meyakinkan orang bahwa blockchain adalah fase komputasi alami berikutnya. Sejarah teknologi mencatat bahwa platform media sosial seperti MySpace, Facebook, Twitter, dan LinkedIn, menciptakan Web 2.0. Kita tahu bahwa sebelumnya, World Wide Web hanyalah tempat bagi orang untuk menelusuri halaman statis dan berkomunikasi melalui email, dan Web 2.0 membuka jalan untuk interaksi dan partisipasi real time.

Teknologi  World Wide Web, Web 3.0, akan menandai lompatan dalam pengalaman internet ke tingkat yang baru, di mana dunia fisik dan dunia virtual akan berinteraksi sebagai cermin dari realitas yang sama. Istilah tersebut telah ada selama beberapa tahun tetapi baru mulai mendapatkan perhatian pada  tiga tahun belakangan ini.

Teknologi 5G menjanjikan konektivitas cepat, kehandalan, dan latensi sangat cepat, hal ini akan memberikan tingkat fungsionalitas dan kemampuan program yang baru, mengaktifkan fitur-fitur seperti Network Slicing, Critical IoT, mmWave Spectrum, dengan kecepatan broadband gigabit; serta ketersedian teknologi konektifitas ini pastinya membutuhkan waktu untuk berada di banyak lokasi.

Namun demikian teknologi 5G tidak akan cukup untuk mendukung teknologi Metaverse secara seluler penuh. Bahkan dengan 5G Advanced yang akan datang, yang dapat muncul pada tahun 2024, jaringannya  tidak akan dapat mendukung latensi yang diperlukan untuk menghubungkan dunia virtual tanpa jeda yang signifikan.

 

Saya berpendapat meskipun teknologi  Metaverse berpotensi membawa beberapa kemungkinan yang menarik bagi umat manusia, disisi lain teknologi ini berpotensi  memperdalam masalah yang ada terkait penggunan media sosial dan internet, khususnya yang berhubungan dengan masalah privasi data dan cyberbullying.

Metaverse memiliki implikasi besar, teknologi ini muncul  dengan menawarkan manfaat yang fantastis dan bersaman dengan itu membawa bahaya yang menakutkan, dimana membutuhkan sistem yang sangat kuat untuk mengawasi dan mengendalikan teknologi Metaverse ini. Teknologi Metaverse akan membawa individu ke dalam lingkunga yang bersufat imersif (immersive environment) yang sangat berpengaruh pada kondisi emosional individu. Teknologi Metaverse jauh lebih berbahaya dan lebih ekstrim  dibandingkan dengan intimidasi online di media sosial lainnya, khususnya terkait ancaman yang bersifat imersif (visceral expression).

 

Teknologi ini lebih mengkhawatirkan lagi, karena  perkembangan teknologi ini akan mengaburkan batas antara virtual dan realitas. Siapapun yang menjadi penguasa atas realitas ini akan memiliki akses ke jumlah data yang belum pernah ada sebelumnya, dan memberikan kekuatan yang luar biasa guna mengendalikan entitas-entitas informasi untuk mencapai tujuan tertentu. Potensi pasar untuk entitas ini begitu besar, sedemikian rupa bagi industri yang mampu menguasai dan mengendalikannya akan memiliki kendali atas seluruh entitas realitas.

 

Teknologi Metaverse berbasis teknologi MR (Multiple Reality) realitas campuran, yang mampu melakukan  pelacakan wajah, mata, tubuh, dan tangan, bahkan sebagian besar dilengkapi kamera canggih dan menggabungkan teknologi Electroencephalogram (EEG) untuk mengambil pola gelombang otak.

Dengan demikian teknologi MR dapat menangkap  apa yang kita katakan, memanipulasi, melihat, atau bahkan dapat memantau pikirkan. Data yang akan dihasilkan oleh sistem dan teknologi  ini akan sangat beragam dan sangat mempunyai nilai.

 

Itulah sebabnya diperlukan protokol pengawasan dan pengendalian, dan tidak boleh satu perusahaanpun yang boleh mengendalikannya, dan ini merupakan salah satu kerawanan teknologi Metaverse.

Bentuk kerawanan yang dihadapi teknologi ini melingkupi kemungkinan terjadinya: pelecehan seksual virtual (virtual sexual harassment), pencurian identitas (Identity theft), ruang iklan yang ramai (crowded adspace), ancaman fisik (physical threats),

 

Teknologi Metaverse saat ini bergantung pada realitas virtual, yang sebagian besar masih terdiri dari Headset  dan kontrol lengan yang masih dianggap kurang comfortable bagi penggunanya, yang menurut saya semuanya hanya untuk dapat melakukan manuver avatar melalui dunia online yang canggung. Teknologi VR telah menjadi teknologi harapan  selama beberapa dekade dan publik secara konsisten merasakan  hal-hal sebaliknya.

Menurut saya, akan ada banyak hal yang harus diantisipasi saat kita menyatukan dunia online dan offline. Tetapi kita juga harus belajar untuk tidak mengabaikan kekhawatiran atau kewaspadaan tentang hal ini. Ada banyak alasan rasional bagi orang untuk mengambil bagian dalam  gelombang techlash drive.

 

Dalam kaitannya dengan pelecehan seksual virtual diperlukan sarana atau alat guna memastikan jarak avatar virtual yang digunakan dapat mengekang insiden pelecehan seksual dan perilaku kasar lainnya.  Penipuan dan pencurian identitas  adalah suatu risiko besar dalam penggunaan teknologi Metaverse, dengan demikian membuat perlindungan identitas digital pengguna menjadi sangat vital.

Metaverse akan berisi jauh lebih banyak informasi pribadi daripada akun Google yang dimiliki pengguna. Selain detail kartu kredit dan rekening bank, perusahaan Facebook yang saat ini berubah menjadi Meta telah dilaporkan pada otoritas setempat, karene mengumpulkan data biometrik, termasuk gerakan pupil dan pose tubuh pengguna, untuk membuat avatar dan iklan hyper-targeted advertisements mereka.

Ruang iklan yang dibangun oleh teknologi Metaverse juga merupakan sasaran empuk bagi pengiklan untuk membanjiri ruang itu. Karena adanya kelebihan mekanisme sensorik dalam Metaverse, pop-up video yang konstan, konten bersponsor, dan iklan berulang yang dapat lebih mengganggu pengguna. Saya berpendapat Metaverse diisi dengan rentetan iklan yang terprogram dan dapat dipertanggung  jawabkan.

Seiring perkembangan suatu teknologi, sejumlah masalah yang lebih serius diperkirakan akan muncul, dan penelitian menunjukkan bahwa virtual attack dapat berubah menjadi physical attack, dimana seorang penyerang dapat mengatur ulang batas fisik perangkat keras dengan memanipulasi platform VR seperti halnya pengguna yang dapat didorong saat  menuruni tangga, yang terburuk adalah terjadinya hypotetic attack yang dapat membuat pengguna merasakan gangguan fisik.

 

Untuk melindungi data dan privasi pengguna, perusahaan perlu melakukan lebih dari sekadar perubahan kebijakan, ekosistem yang aman  yang didukung oleh algoritma, kerangka kerja, dan peraturan untuk mengatasi masalah privasi dan keamanan. Hal ini dapat dicapai dengan menerapkan pilihan teknologi dan protokol yang tepat, serta menerapkan metodologi default, dimana mekanisme default akan menutupi detail pengguna dan memungkinkan pengguna untuk dapat mengkonfigurasi privacy rules yang diperlukan.

Saya berpendapat bahwa membangun Metaverse yang aman tidak bisa dilakukan sendiri, perusahaan harus bermitra dengan pemerintah, industri, akademisi dan masyarakat sipil. Para pakar kebijakan harusnya dapat  menetapkan tujuan tertentu yang selaras dengan gagasan Metaverse yang aman, khususnya menentukan siapa yang memiliki otoritas untuk membuat kebijakan, memperbaiki masalah infrastruktur saat ini, manajemen dan perlindungan identitas digital yang lebih baik, dan membingkai kebijakan kepercayaan untuk realitas virtual.

Demikianlah pemikiran ini saya sampaikan terkait teknologi Metaverse,mohon kiranya dapat ditambahkan dalam perspektif yang lebih luas sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas dan para pengambil kebijakan. -Sang Penghimpun-